Pengalaman di Rumah Sakit

Kamis, November 20, 2008

Suatu pagi di bulan November 2008,

“ Dit lu katanya mo ngurus surat bebas narkoba! Masih aja di depan komputer...” Bapak gua mengingatkan

”Iye sabar bentar lagi juga kelar (download-nya, hihi..)” jawab gua.

Hari itu memang gua berniat mengurus surat keterangan bebas narkoba di rumah sakit untuk persyaratan mendaftar CPNS. Maka, setelah gua shutdown komputer, gua langsung lari ke kamar mandi dan gak pake lama langsung keluar dalam keadaan rapih untuk kemudian melaju ke RSUD Bekasi.


Singkat kata, gua sampai di rumah sakit, mengantri untuk pendaftaran di loket 2. Walaupun sempat diselak beberapa orang, namun akhirnya sampai juga di depan loket.

”Pak, pilem pemadam kebakaran udah..., eh maksud saya mau bikin surat bebas narkoba.”

”Registrasi lima ribu, setelah ini langsung ke poliklinik umum di lantai 2.”


Sesampainya di lantai 2, tenyata poliklinik umum penuh sesak. Kebanyakan dari mereka juga mempunyai keperluan yang sama, mengurus syarat pendaftaran CPNS.


Hampir 1 jam berlalu, nama gua blom dipanggil-dipanggil. Begitu juga beberapa mas-mas yang dateng sebelum gua. ”Waduh bakal 3 tahunan nih!” Gua terus-menerus mondar-mandir depan pintu poliklinik umum. Beberapa orang ngikutin gua dan bersama-sama maen ular naga panjangnya bukan kepalang. Dan akhirnya... nama kami pun dipanggil.


Poliklinik umum ternyata hanya tempat registrasi ulang. Disana cuma ditanya apa keperluan dan penentuan biaya yang mesti dibayarkan. Dari sana, gua disuruh melanjutkan tes urine di laboratorium.


”Aditya!!!”

”Ya bu, hadir!”

Gua diberikan sebuah tabung. Mirip seperti tabung mainan gelembung sabun, tapi kosongan.


”Isi ya....”

”Dimana bu?”

”Di WC lah...”

”Oh kirain disini” kata gua polos sambil menaikkan celana kembali.


Di WC ternyata masih juga ngantri. Iseng-iseng gua ngobrol aja sama ibu-ibu yang lagi nungguin nenek-nenek (mungkin ibunya).

”Ibunya sakit apa? Gula?” tanya gua sok tahu.

”Bukan, kadar gulanya normal. Mungkin sakit garem kali.” jawab ibu itu

”Mungkin juga sih, apalagi kalo dia dulu penjaga pantai.” kata gua lagi

”Iya, beliau memang pensiunan penjaga pantai.” jawab ibu itu dengan mata berbinar-binar.

”Oh, pantes... Semoga ibunya cepet sembuh” gua memberikan dorongan moril.

Gak lama, nenek itu pun keluar dan saatnya gua gantian yang beraksi.


Gua tutup pintu....

Suasana jadi hening...

Eksekusi pun dimulai!

Tapi, sebelumnya ”dari nol ya pak...”

Cyuuurrr.... Mengalirlah mililiter demi mililiter.

Waduh!!! Overload nih!

Gua lupa kalo harga pertamax udah turun.

Kemudian gua berikan sampel itu kepada ibu-ibu penjaga lab.


1 jam kemudian barulah hasilnya diketahui.

”Negative!!!”

”Yes!”

”Loh knapa gua mesti seneng?”

”Wong emang gua pada dasarnya clean”


Dari lab, gua kemudian menuju ke poliklinik jiwa untuk mengambil surat keterangan.

Sebenernya gua juga heran kenapa mesti ngambil di poliklinik jiwa sih? Tapi gua positive thinking aja. ”Ooo, mungkin poliklinik jiwa kerjaannya lebih sedikit dibanding poliklinik lainnya.” Memang sih, sesampainya disana poliklinik jiwa kondisinya sepi sekali. Setelah menyerahkan data lab, gua disuruh nunggu diluar.


Poliklinik jiwa letaknya berdekatan dengan poliklinik gigi. Jadi dari situ gua bisa ngeliat orang-orang berseliweran di depan poliklinik gigi. Jadi agak lumayan deh, menyeimbangkan sepinya poliklinik jiwa.


”Krek..” Pintu poliklinik gigi terbuka.

Dari sana keluar beberapa orang dokter koas.

”Waduh peragaan busana neh..”

”But..., wait a minute.”

Diantara dokter-dokter koas itu ada salah satu yang menarik perhatian gua.


----Mulai deskripsi 17th.com----

Gadis itu blasteran ras kaukasia. Kulitnya putih. Rambutnya panjang lurus, diikat ke belakang. Tubuhnya bak peragawati, lebih tinggi dari koas-koas yang lain. ”Wajar lah, bule gitu loh.” Ukuran dada mungkin sekitar 34B (setelah gua tanya ke mbak-mbak sebelah gua, soalnya sama sih), sementara belakang tidak terlalu kelihatan karena tertutup jas putih dokter. Mirip Arumi Bachsin, bintang iklan biore yang adegan berenang itu lho. Pokoknya makcrut deh... (Kalo gak percaya dateng aja ke RSUD Bekasi dari jam 07.00-12.00)


Pikiran gua jadi macem-macem.

Coba aja tadi gua sekalian periksa gigi.

”Bu dokter gigi saya sakit nih...”

”Yang mana say?”

”Geraham kanan sebelah atas. Ada kulit melinjo yang nyangkut.”

”Ooo itu, sini biar aku ambilin pakai lidah.”

Dokter koas itu mendekatkan bibirnya ke bibirku lalu mengambil gergaji mesin dan menyalakannya.

$$@%^#$$&^%&%&&*!!#!$!


”Loh, loh, loh!!!”

”Kok khayalan gua bisa buyar gitu?”

Ternyata ada ibu-ibu yang lewat sambil menggandeng ibu-ibu yang lainnya. Dari gerakannya yang pelan jelas nampak bahwa ibu-ibu yang digandeng itu sedang sakit, tapi aku belum tahu apa sakitnya sampai suatu ketika ibu itu berteriak-teriak.

”Ngen***... Ngen***”

Suasana rumah sakit yang riuh berubah sepi dalam hitungan detik. Gua akhirnya tahu kalo ibu itu mengalami gangguan jiwa. Gua menghela nafas kemudian menengok ke samping kiri.

”Nah lho, mbak-mbak di sebelah gua mana nih?”

Ternyata ia pindah tempat duduk di sebelah bapaknya.

”Feeling gua gak enak nih”

”Kok agak-agak merinding ya?”


Firasat buruk gua menjadi kenyataan. Pasien gila itu itu duduk disamping gua.

”Gua sakit jiwa ya???” tanyanya.

Gua mencoba tenang ”Eng.. Enggak kok. Bentar lagi juga sehat.”

”Bener gua gak sakit???” dia kemudian menanyakan hal yang sama sambil membentak

”Iiii.. iya bener kok. Suer deh, kalo boong mau saya dicium suster.” jawab gua yang makin stress.


Agak lama tenang, kemudian orang sinting itu bertanya lagi”Eh, gua cantik gak?”

Gua ngelirik ke belakang ke ibu yang mengantar pasien sakit jiwa itu. Gua lihat dia mengasih kode untuk mengiyakan saja.

”Iii.. iya cantik.” akhirnya kata itu meluncur begitu saja dari mulut gua.

Sebenernya gua mau nambahin ”kayak luna maya.” tapi berhubung kalo diliat-liat pasien itu lebih mirip hansip RT03, si rojali kalo lagi cukur kumis, gak jadi deh kalimat itu gua keluarin. Daripada nantinya gak ikhlas.


Ibu yang mengantar pasien sakit jiwa itu (dari pengakuannya, ia kakak ipar pasien) mungkin salut atas kesabaran gua. ”Hmm, kayaknya pemuda ini cocok jadi dokter atau kyai.” kemungkinan pujian darinya dalam hati.

”Mas-nya juga nunggu di poliklinik jiwa?” tanyanya.

”Iya bu.” Jawab gua

”Nganterin siapa?” dia tampak penasaran.

”Oh, gak kok bu. Saya disini mau mengurus surat bebas narkoba.” Gua mencoba menjelaskan.


Namun, tak disangka. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Orang gila tadi rupanya menguping pembicaraan gua.

”Lo narkoba ya? Gua tonjok lo!!!” tiba-tiba dia berdiri sambil mengepalkan tangan.

Sontak gua kaget. Untung aja kakak iparnya agak lincah. Selametlah gua.

”Fyuuuh.....”


Gak lama kemudian, HP gua berdering. ”Bagus nih ada alesan buat pindah bangku.” Gua langsung berdiri, ngobrol sambil jalan. Dari situ gua dapetin fakta bahwa mereka yang nunggu surat keterangan bareng gua ternyata nggak duduk di depan poliklinik jiwa. Tapi di tempat lainnya yang berdekatan.

”Duh, tengsin gua. Mana diketawain lagi.”

”Kapok deh. Lain kali jangan main-main dekat orang gila.”

”Hiiiii.....”