Agama itu bukanlah sesuatu yang sakral dan kitab bukan pula sesuatu yang suci

Rabu, Agustus 25, 2010

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan segala ilmu pengetahuan yang ada. Sesungguhnya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan semoga kita termasuk didalamnya.

Apa yang gua tulis ini, gua harap nggak menjadi sebuah kontroversi. Tulisan ini gua buat sebagai bahan renungan untuk kita semua. Jikalau ada yang salah, mohon dikoreksi. Semoga ini bisa sekaligus jadi forum diskusi yang bertujuan mencari kebenaran yang hakiki.

Agama itu bukanlah sesuatu yang sakral dan kitab bukan pula sesuatu yang suci. Mungkin agak mencengangkan bagi sebagian orang, tapi begitulah pemikiran gua. Gua mengamati bahwa sebagian orang di negara ini masih menganggap agama sebagai sesuatu yang sakral. Sakral dari segi bahasa memiliki kesamaan arti dengan keramat. Sesuatu yang dikeramatkan menjadikan kita menjadi sungkan, atau bahkan enggan untuk menyentuhnya. Dengan menganggap agama sebagai suatu yang sakral, secara tidak langsung akan menjadikan kita takut mempelajarinya. Mungkin kita tetap akan mengikutinya tetapi kita menjadi terlalu berharap pada orang-orang pintar, kyai, alim ulama, dsb untuk mengajarkan kepada kita tanpa kita sendiri berusaha untuk mengoreksi apa yang dikatakan oleh orang-orang tersebut. A ya A, B maka B, dan begitu seterusnya. Kita menjadi manja, maunya disuapin terus. Hal ini tanpa disadari (lama-kelamaan) akan membawa kita kearah fanatisme berlebihan. Kita terlalu nyaman “menyimak uraian” seseorang sehingga terlalu mengagung-agungkan ajarannya dan mengabaikan yang lain. Perlu digarisbawahi kata “menyimak” disini sifatnya pasif, berbeda dengan kata “berguru”. Ketika menyimak, kita hanya mendengarkan saja dan langsung mengiyakan. Lain halnya ketika kita berguru, sebagai murid yang aktif kita memikirkan dan mempelajari lagi apa yang disampaikan guru kita sehingga ketika menemukan hal yang bertentangan dapat kita tanyakan atau diskusikan kembali dengan guru kita. Ingatlah bahwa manusia itu tempatnya salah dan dosa, sehingga seseorang itu tidak selalu benar.

Beralih ke kitab, dalam hal ini Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia (lihat Al Baqarah:97 dan Yusuf:111). Gua mengamati, sebagian orang masih menganggap kitab sesuatu yang suci, bahkan terlalu suci hingga hanya bisa dipelajari oleh orang-orang pintar saja. Sebagian lain menganggap Al-Qur’an cuma sebagai simbol. Gua akan berikan contoh. Betapa banyak orang yang menganggap Qur’an tidak boleh diletakkan dibawah lantai. Mereka beranggapan bahwa Qur’an adalah firman Tuhan dan tidak etis rasanya untuk meletakkan firman Tuhan di lantai. Namun, dari sekian banyak itu berapa banyak orang yang sudah membacanya? Berapa banyak orang yang mempelajarinya? Berapa banyak orang yang mengamalkan setelah mempelajarinya? Jikalau belum pernah (membaca atau mempelajari), maka berarti mereka hanya menjadikan Qur’an sebagai simbol, masih berhubungan dengan sesuatu yang dikeramatkan tadi. Maka, manakah yang lebih baik menurut anda semua: Seseorang yang menaruh Qur’an di lantai namun mempelajari dan berusaha untuk mengamalkannya atau seseorang yang meletakkan Qur’an di atas lemari kaca yang disekelilingnya diletakkan vas bunga dan ditaburi wewangian namun tidak pernah membaca apalagi mempelajarinya? Kalau anda belum bisa menjawab, gua ingatkan dengan kisah Musa AS yang bisa anda baca di surat Al A’raaf ayat 150. Sekembalinya dari Gunung Sinai (untuk menerima wahyu), ia mendapati kaumnya menyembah lembu emas hasil buatan tangan mereka sendiri. Karena marah, maka Musa pun melemparkan lembaran-lembaran wahyu (kitab Taurat) yang dipegangnya. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa Musa lebih mengkhawatirkan akibat dari kemusyrikan kaumnya (yang tentunya tidak sesuai dengan ajaran kitab) daripada bendanya (kitab) itu sendiri.

Dari uraian-uraian diatas, gua harap anda semua paham mengapa gua menganggap bahwa agama itu bukanlah sesuatu yang sakral dan kitab bukan pula sesuatu yang suci. Menurut gua, agama itu adalah sesuatu yang biasa dan seharusnya dibiasakan dalam keseharian setiap individu. Kemudian, kitab juga bukanlah hanya sekedar simbol atau pajangan. Jika ingin meletakkannya, maka tempat terbaik bagi sebuah kitab adalah di dalam pikiran setiap insan karena akan menjiwai tindak-tanduk dan perbuatan orang tersebut.

Untuk menuju kesana, baca dan pahamilah isi Al-Qur’an. Tidak usah takut untuk mempelajarinya. Jika ada yang tidak dimengerti, tanyakan kepada yang sudah terlebih dahulu mengerti atau carilah sumber-sumber yang menerangkan ayat-ayat (yang kurang dipahami) tersebut. Jangan berpikir untuk selalu mengandalkan orang yang (kita anggap) sholeh, pikirkanlah bagaimana cara kita untuk menjadi seperti mereka. Mari kita ciptakan generasi muda Islam yang berakhlak Qur’an!!! Hmmm… Kok lama-lama gua jadi sok tua gini? Hahahaha… Pesan ini juga berlaku buat gua, karena manusia seperti air laut, ada pasang surutnya. Jujur, sebenernya gua pribadi takut untuk menulis ini. Takut kalau gua nggak mampu melaksanakan apa yang gua terangkan disini, kemudian Allah menguji gua sehubungan dengan ini. Maka itu, tegurlah gua jika suatu saat anda mergokin gua melenceng dari apa yang gua omongin. Semoga Allah tetap menjadikan kita istiqomah di jalan-Nya.

Kebenaran itu datangnya dari Allah. Gua sebagai manusia pastilah memiliki kesalahan. Jikalau ada kesalahan pada penulisan ini, gua mohon para pembaca untuk mengoreksinya. Gua akan senang sekali. Namun, jika anda menyukai tulisan ini, tolong jangan di-likes ya… Gua takut pujian akan melalaikan sehingga menjadikan gua riya dan sombong. Kalo mau nge-likes mending poto-poto atau notes gua yang lain aja yang lebih mengarah kepada perkara keduniawian. Hehehehe…

My Soul

Minggu, Agustus 08, 2010

Sejak kecil gua punya rasa ingin tahu yang besar. Di benak gua selalu ada pertanyaan “Mengapa begini? Mengapa begitu?” Seringkali saudara-saudara dan orang-orang yang bertamu ke rumah gua kepusingan menjawab pertanyaan-pertanyaan gua yang menghujani mereka. Gua selalu menodong mereka untuk bercerita, namun selalu bertanya dan membantah jika ada sesuatu yang mengganjal di pikiran. Tante gua sempat berucap “Yeee.. Emang jalan ceritanya udah gitu dari sononya, diprotes…” Hehehe… Bagaimana dengan kedua orangtua gua? Mereka punya cara sendiri menyiasatinya.

Bapak gua mengajarkan gua membaca pada usia yang belum semestinya. Usia 4 tahun gua udah bisa baca tulis dengan lancar. Gua ingat buku pertama gua (yang gua baca sendiri) adalah sejarah nabi Musa A.S. Setelah itu Ibu gua mulai rutin membelikan gua majalah Bobo setiap minggunya. Memang, cara ini tidak menghentikan pertanyaan-pertanyaan gua namun paling tidak menghemat waktu mereka untuk bercerita dan mendongeng.

Berbarengan dengan masuk SD, gua juga didaftarkan ke pengajian dekat rumah. Pengajiannya model pengajian di sinetron “Entong” jadi disini bisa terjadi dialog interaktif antara ustadz dan santri. Suatu hari, tema yang dibawakan ustadz gua adalah tentang bersuci (wudhu dan mandi wajib). Ustadz gua berkata “Mandi wajib dilakukan karena beberapa hal. Antara lain keluarnya air mani. Kalian mungkin belum pernah mengalaminya.” Gua mulai bertanya “Apaan tuh Tad?” Ustadz gua dengan sabar menjawab “air mani itu keluarnya pelan-pelan tapi rasanya enak” Gua menimpali “Owh, gitu Tad…” Ustadz gua terlihat agak tenang, namun gak lama kemudian gua bertanya kembali “Kalo yang keluarnya cepet tapi rasanya sakit namanya air apaan Tad?” Ustadz gua memang betul-betul sabar atau mungkin sambil ngurut-ngurut dada, kembali menjawab “Eh, kalo itu namanya air madzi”. Hahahaha… Ustadz gua menjawab sekenanya sambil terlihat menyeka keringat di dahinya. Padahal kalo gua yang jadi ustadz bakal gua jawab “Oh yang keluarnya cepet trus rasanya sakit ya? Itu namanya air mancur!!!” Hehehe…

Suatu hari sepulang pengajian gua kedatangan seseorang yang belum gua kenal. Seorang laki-laki tua kurus keriput. Bapak gua memperkenalkannya sebagai ‘Mbah’. Gua gak tau apa hubungan dia dengan Mbah gua yang di kampung dan Mbah Maridjan yang di Gunung Merapi. Apakah dia adik, kakak, bapak, om, tante atau jangan-jangan dia adalah Mbah asli gua? Hahahaha… Gak lah… (Moga-moga Bapak gua gak baca ini, hehehe…).

Mbah mulai pedekate sama gua. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan standar seperti sekolah dimana, kelas berapa, cita-cita mau jadi apa, mau nikah umur berapa, udah ada calonnya atau belum. Pertanyaan simpel tapi bisa jadi senjata makan tuan. Jikalau gua sudah merasa akrab maka akan terjadi counter attack dimana gua akan berbalik menyerangnya bertubi-tubi dengan pertanyaan.

Ternyata hal tersebut tidak menakutkannya. Mbah ternyata orangnya senang bercerita. Ia adalah seorang pelaut. Pengalamannya banyak, jadi banyak yang bisa diceritakannya. Ia pernah mengelilingi dunia dengan kapal laut. Yang gua ingat dia semangat sekali jika bercerita tentang Hawaii.

Cerita-cerita Mbah memaksa otak gua untuk bekerja keras. Dari situ pertanyaan-pertanyaan timbul dengan sendirinya… Bagaimana ikan teri yang kecil dapat membalikkan kapal? Apa saja isi Palung Mariana yang berkedalaman 10.000 meter? Dimana letak Atlantis, pulau yang hilang? Mengapa Mbah senang ke Hawaii?... dan Kapan ya gua bisa menjawab semua ini???

Pertanyaan terakhir adalah pertanyaan terpenting dan menjadi alasan mengapa gua suka bepergian kesana kemari, berpetualang menjelajahi daratan dan lautan. Karena bagi gua, dunia adalah pertanyaan yang harus gua jawab.

Untuk Mbah dimanapun engkau berada, apakah masih hidup di Indonesia? Ataukah di Hawaii? Atau apakah Engkau sudah meninggal? Meninggal secara wajar? Ataukah dicabik-cabik hiu? Gua ingin mengucapkan terima kasih. Ternyata perjumpaan kita yang sebentar, berpengaruh besar bagi diri gua. You’re one of my inspirations. Jikalau suatu saat nanti gua sampai ke Hawaii, gua akan menuliskan namamu dengan ukuran font yang besar diatas pasir. Hmmm…. By the way, jenengmu sopo tho mbah???

Bicara soal nama, mungkin ada benarnya statement nama itu adalah doa orangtua. Orangtua gua memberi nama “Aditya” yang berarti “Matahari” dalam bahasa Jawa Kuno. Matahari bersinar dan memberi penghidupan bagi seluruh makhluk di bumi. Mungkin itu juga harapan orangtua gua, agar gua paling tidak dapat bersinar untuk keluarga dan orang-orang di sekitar gua. Bener tho Pak, Bu… Kalo itu adalah harapan kalian? Hiks… Hiks… Terharu gua…. Mmmm… Atauuuu… Jangan-jangan nama gua didapet gak sengaja lagi? Abis baca-baca koran? Awas aja kalo ampe ketauan gitu. Rrrrr… Hahahahaha… Apapun itu, bagi gua gak ada permukaan bumi yang gak pernah tersentuh matahari. Begitupula gua akan mencoba seperti matahari menginjakkan kaki gua di seluruh permukaan bumi*.

*berlebihan mode: ON


Legenda Tugu Monas

Senin, Maret 29, 2010



Alkisah, pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang kini bernama Indonesia, hiduplah dua orang raksasa yg bernama Raksasa Maho dan Raksasa Liyus. Sebenarnya kedua Raksasa ini berasal dari satu perguruan yaitu Perguruan ’Duren Mbakule’ yang dipimpin oleh Raksasa Pertapa Ki Tuhu. Namun, permasalahan kecil menjadikan mereka bermusuhan. Penyebabnya sepele, ketika terjadi pertarungan antar keduanya dalam sebuah kompetisi yg diadakan Ki Tuhu, Raksasa Maho menjitak kepala Raksasa Liyus terlalu keras sehingga menyebabkan kepalanya menjadi pitak....



Pada suatu hari ketika Raksasa Maho sedang menyantap makanan kesukaannya yaitu molen nanas, ia tersedak.
"Busyet! Keras amat ini nanas! Syaul, ampe nyangkut di kerongkongan" batin Raksasa Maho.
Raksasa Maho kemudian mengeluarkan nanas tersebut dari mulutnya, dan dengan kesaktian dan kreatifitasnya ia mengubah nanas tersebut menjadi sebuah karya seni.
"Daripada mubadzir, gak jadi dimakan."

"Bagus juga ya karyaku... Aku namakan ini Monas, Molen Nanas!!!" Raksasa Maho berkata dengan lantang.
Tak sampai lama, kabar kemunculan Monas terdengar sampai seantero negeri. Keindahan dan kebesarannya sampai-sampai membuat penduduk negeri menyembah-nyembahnya seperti mereka menyembah berhala. Saat itu memang masih jaman jahiliyah.

Berita karya seni Raksasa Maho itupun terdengar oleh Raksasa Liyus. "Syaul Maho! Makin terkenal aja dia. Akan kuhancurkan karyanya demi membalaskan dendamku karena ia telah membuat kepalaku menjadi pitak seperti ini! Biar dia tahu itulah yg akan terjadi bila berurusan dengan keluarga Setiadi,... maksudku Liusetiadi..."

Raksasa Liyus mengamuk dan melampiaskan dendamnya pada Monas. Liyus menendang-nendang Monas dengan sekuat tenaganya, namun Monas tetap seperti sediakala, tidak bergerak apalagi rusak.





”Kuat sekali bangunan ini! Aku bahkan tak sanggup membuat kerusakan kecil padanya” Liyus mulai frustasi.
Tapi bukan Liyus namanya kalau ia kehabisan akal. Ia kemudian melakukan tindakan yang tidak diduga oleh manusia pada jaman itu. Ia mengencingi tugu Monas!

Sore harinya, Maho seperti biasa mengunjungi hasil karyanya.
”Monaaaas.... Papa datang... Mmmmmuaaaahhh...” Maho menyapa dan mencium Monas.
”Kok bau pesing ya? Kamu ngompol ya Monas.... ??? Tapi....” Maho mulai curiga dan mengendus Monas sekali lagi.
”Kuraaaang Ajaaaaaarrrrrrr!!!! Aku kenal bau ini!!! Smells like teen spirit!!!”

Malam itu juga Maho mencari keberadaan Liyus. Ia sangat yakin kalau bau pesing itu berasal dari air ketuban, eh maksudnya air kencing Liyus. Berjam-jam ia mencari dan barulah pada keesokan paginya ia menemukan Liyus di sebuah padang rumput yang luas.
”Liyussss!!!! Apa yg kau lakukan pada Monas-ku???” Maho bertanya pada Liyus.
”Itulah akibatnya kalau kau membuat masalah denganku!” Liyus menggertak balik.
”Oh jadi hanya karena pitak itu kau dendam kepadaku???”
”Ya betul! Gara-gara itu kegantenganku berkurang. Para bidadari sering mengolok-olokku.”
Pertarungan tak dapat terhindari. Saling jual beli pukulan pun terjadi.

Pertarungan berlangsung lama dan cenderung imbang, sampai pada akhirnya Raksasa Maho mengeluarkan ajian pamungkasnya yaitu ’Ajian Gunung Kemukus’. Dengan ajian ini Maho dapat mengubah siapa saja menjadi hewan dan ketika itu dikeluarkan Liyus pun berubah menjadi anak kambing.

”Kau, telah berbuat curang Ho!” Liyus tidak terima.
“Siapa yang curang??? Peraturan belum dibuat kawan!“ Maho berkelit.
”Kembalikan aku ke bentuk semula!”
”Apa jaminannya jika kau kukembalikan seperti sediakala?”
”Anggaplah aku berhutang kepadamu, Ho!” Liyus memohon.
”Hutang terus! Berapa banyak yang belum kau bayarkan kawan? Aku takkan memberimu lagi! Lagipula dendammu tidak akan ada habisnya. Aku khawatir kau akan tetap mengusikku jika aku mencabut kutukanku.” Maho kukuh pada pendiriannya.
”Baiklah Ho! Tapi tidak adakah binatang yang lebih baik dari anak kambing?” Liyus protes kembali.
”Ini anak dikutuk masih nawar aja. Lo kata belanjaan??? Masih mending gua ubah jadi anak kambing, daripada jadi anak haram... Okelah kalo begitu aku akan mengubahmu menjadi kuda.” Maho mengabulkan permintaan Liyus.

Tak lama kemudian datanglah Ki Tuhu. ”Ho, darimana kau dapatkan kuda ini?” tanyanya.
”Ini aku guru...” jawab Liyus.
”Wow! Kudanya bisa berbicara!!!” Ki Tuhu terkagum-kagum.
”Dasar guru bodoh! Ho, kamu saja yang ngomong!” Liyus tambah kesal.
”Guru aku telah mengubah Liyus menjadi kuda!” Maho menerangkan.
”Maho kau keren sekali” Ki Tuhu sempat terkagum sebelum akhirnya ia sadar ”Apa yang kau lakukan Ho! Tindakanmu sungguh keterlaluan!”
Ki Tuhu kemudian membujuk Maho agar mau mencabut kutukannya namun Maho tetap pada pendiriannya sehingga Ki Tuhu pada akhirnya mengusir Maho dari tanah cikal bakal negara Indonesia ini. Sebelum Maho pergi ia berpesan pada Liyus untuk bertobat memohon ampunan kepada dewata. Hanya dengan itulah dia dapat kembali seperti semula.

Satu millenium kemudian, setelah Liyus menjalan hidup 1000 tahun sebagai kuda, berganti-ganti majikan dan berganti-ganti pekerjaan: sebagai kuda balap, sebagai penarik delman sampai pernah ia menjadi kuda lumping. Semua ia lakoni dengan niatan ingin bertobat dan atas kesungguhannya itu para dewata mengembalikan ia ke bentuk semula, namun dikarenakan sudah sangat lama, para dewata lupa dengan bentuk asli Liyus sehingga Liyus menjadi manusia dengan rupa yang tidak terlalu mirip dengan awalnya.

Liyus tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan setahun kemudian ia menikah dengan gadis pujaannya.





Lalu apa yang terjadi dengan Tugu Monas? Monas tetap bertahan hingga sekarang dan menjadi simbol ibukota negara.



TELOR

Jumat, Maret 26, 2010

Pada suatu siang di bulan Maret 2010, gua makan bersama teman gua Liyus dan Anton di sebuah warteg di kota Serang, Jawa Barat. Anton terlalu khusyuk makannya sehingga tidak terlibat dalam pembicaraan berikut. Ia hanya mendengarkan sambil sesekali terlihat ngeces.

Liyus: telor asin tuh Ho!

Gua: Iya moga-moga enak nih...

Liyus: Yg terkenal enak mah di Brebes Ho!

Gua: Emang itu oleh-oleh khas sana Yus...

Liyus: Ada cerita nih Ho.. Ada supir truk maen sama PSK. Setelah maen, PSK-nya nanya "Mas orang Brebes ya???"... "Kok bisa tau dek???" kata supir truk. "Ya tau dong, soalnya TELOR-nya ASIN!!!"

Gua: Hehehe... Gua juga ada cerita nih Yus... Ada supir truk maen sama PSK. Setelah maen, PSK-nya nanya "Mas orang Betawi ya???"... "Kok bisa tau dek???" kata supir truk. "Ya tau dong, soalnya TELOR-nya BERKERAK!!!"