Alkisah, pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang kini bernama Indonesia, hiduplah dua orang raksasa yg bernama Raksasa Maho dan Raksasa Liyus. Sebenarnya kedua Raksasa ini berasal dari satu perguruan yaitu Perguruan ’Duren Mbakule’ yang dipimpin oleh Raksasa Pertapa Ki Tuhu. Namun, permasalahan kecil menjadikan mereka bermusuhan. Penyebabnya sepele, ketika terjadi pertarungan antar keduanya dalam sebuah kompetisi yg diadakan Ki Tuhu, Raksasa Maho menjitak kepala Raksasa Liyus terlalu keras sehingga menyebabkan kepalanya menjadi pitak....

"Busyet! Keras amat ini nanas! Syaul, ampe nyangkut di kerongkongan" batin Raksasa Maho.
Raksasa Maho kemudian mengeluarkan nanas tersebut dari mulutnya, dan dengan kesaktian dan kreatifitasnya ia mengubah nanas tersebut menjadi sebuah karya seni.
"Daripada mubadzir, gak jadi dimakan."

Tak sampai lama, kabar kemunculan Monas terdengar sampai seantero negeri. Keindahan dan kebesarannya sampai-sampai membuat penduduk negeri menyembah-nyembahnya seperti mereka menyembah berhala. Saat itu memang masih jaman jahiliyah.

Raksasa Liyus mengamuk dan melampiaskan dendamnya pada Monas. Liyus menendang-nendang Monas dengan sekuat tenaganya, namun Monas tetap seperti sediakala, tidak bergerak apalagi rusak.


Tapi bukan Liyus namanya kalau ia kehabisan akal. Ia kemudian melakukan tindakan yang tidak diduga oleh manusia pada jaman itu. Ia mengencingi tugu Monas!

”Monaaaas.... Papa datang... Mmmmmuaaaahhh...” Maho menyapa dan mencium Monas.
”Kok bau pesing ya? Kamu ngompol ya Monas.... ??? Tapi....” Maho mulai curiga dan mengendus Monas sekali lagi.
”Kuraaaang Ajaaaaaarrrrrrr!!!! Aku kenal bau ini!!! Smells like teen spirit!!!”
”Liyussss!!!! Apa yg kau lakukan pada Monas-ku???” Maho bertanya pada Liyus.
”Itulah akibatnya kalau kau membuat masalah denganku!” Liyus menggertak balik.
”Oh jadi hanya karena pitak itu kau dendam kepadaku???”
”Ya betul! Gara-gara itu kegantenganku berkurang. Para bidadari sering mengolok-olokku.”
Pertarungan tak dapat terhindari. Saling jual beli pukulan pun terjadi.


“Siapa yang curang??? Peraturan belum dibuat kawan!“ Maho berkelit.
”Kembalikan aku ke bentuk semula!”
”Apa jaminannya jika kau kukembalikan seperti sediakala?”
”Anggaplah aku berhutang kepadamu, Ho!” Liyus memohon.
”Hutang terus! Berapa banyak yang belum kau bayarkan kawan? Aku takkan memberimu lagi! Lagipula dendammu tidak akan ada habisnya. Aku khawatir kau akan tetap mengusikku jika aku mencabut kutukanku.” Maho kukuh pada pendiriannya.
”Baiklah Ho! Tapi tidak adakah binatang yang lebih baik dari anak kambing?” Liyus protes kembali.
”Ini anak dikutuk masih nawar aja. Lo kata belanjaan??? Masih mending gua ubah jadi anak kambing, daripada jadi anak haram... Okelah kalo begitu aku akan mengubahmu menjadi kuda.” Maho mengabulkan permintaan Liyus.

”Ini aku guru...” jawab Liyus.
”Wow! Kudanya bisa berbicara!!!” Ki Tuhu terkagum-kagum.
”Dasar guru bodoh! Ho, kamu saja yang ngomong!” Liyus tambah kesal.
”Guru aku telah mengubah Liyus menjadi kuda!” Maho menerangkan.
”Maho kau keren sekali” Ki Tuhu sempat terkagum sebelum akhirnya ia sadar ”Apa yang kau lakukan Ho! Tindakanmu sungguh keterlaluan!”
Ki Tuhu kemudian membujuk Maho agar mau mencabut kutukannya namun Maho tetap pada pendiriannya sehingga Ki Tuhu pada akhirnya mengusir Maho dari tanah cikal bakal negara Indonesia ini. Sebelum Maho pergi ia berpesan pada Liyus untuk bertobat memohon ampunan kepada dewata. Hanya dengan itulah dia dapat kembali seperti semula.

Lalu apa yang terjadi dengan Tugu Monas? Monas tetap bertahan hingga sekarang dan menjadi simbol ibukota negara.
