My Soul

Minggu, Agustus 08, 2010

Sejak kecil gua punya rasa ingin tahu yang besar. Di benak gua selalu ada pertanyaan “Mengapa begini? Mengapa begitu?” Seringkali saudara-saudara dan orang-orang yang bertamu ke rumah gua kepusingan menjawab pertanyaan-pertanyaan gua yang menghujani mereka. Gua selalu menodong mereka untuk bercerita, namun selalu bertanya dan membantah jika ada sesuatu yang mengganjal di pikiran. Tante gua sempat berucap “Yeee.. Emang jalan ceritanya udah gitu dari sononya, diprotes…” Hehehe… Bagaimana dengan kedua orangtua gua? Mereka punya cara sendiri menyiasatinya.

Bapak gua mengajarkan gua membaca pada usia yang belum semestinya. Usia 4 tahun gua udah bisa baca tulis dengan lancar. Gua ingat buku pertama gua (yang gua baca sendiri) adalah sejarah nabi Musa A.S. Setelah itu Ibu gua mulai rutin membelikan gua majalah Bobo setiap minggunya. Memang, cara ini tidak menghentikan pertanyaan-pertanyaan gua namun paling tidak menghemat waktu mereka untuk bercerita dan mendongeng.

Berbarengan dengan masuk SD, gua juga didaftarkan ke pengajian dekat rumah. Pengajiannya model pengajian di sinetron “Entong” jadi disini bisa terjadi dialog interaktif antara ustadz dan santri. Suatu hari, tema yang dibawakan ustadz gua adalah tentang bersuci (wudhu dan mandi wajib). Ustadz gua berkata “Mandi wajib dilakukan karena beberapa hal. Antara lain keluarnya air mani. Kalian mungkin belum pernah mengalaminya.” Gua mulai bertanya “Apaan tuh Tad?” Ustadz gua dengan sabar menjawab “air mani itu keluarnya pelan-pelan tapi rasanya enak” Gua menimpali “Owh, gitu Tad…” Ustadz gua terlihat agak tenang, namun gak lama kemudian gua bertanya kembali “Kalo yang keluarnya cepet tapi rasanya sakit namanya air apaan Tad?” Ustadz gua memang betul-betul sabar atau mungkin sambil ngurut-ngurut dada, kembali menjawab “Eh, kalo itu namanya air madzi”. Hahahaha… Ustadz gua menjawab sekenanya sambil terlihat menyeka keringat di dahinya. Padahal kalo gua yang jadi ustadz bakal gua jawab “Oh yang keluarnya cepet trus rasanya sakit ya? Itu namanya air mancur!!!” Hehehe…

Suatu hari sepulang pengajian gua kedatangan seseorang yang belum gua kenal. Seorang laki-laki tua kurus keriput. Bapak gua memperkenalkannya sebagai ‘Mbah’. Gua gak tau apa hubungan dia dengan Mbah gua yang di kampung dan Mbah Maridjan yang di Gunung Merapi. Apakah dia adik, kakak, bapak, om, tante atau jangan-jangan dia adalah Mbah asli gua? Hahahaha… Gak lah… (Moga-moga Bapak gua gak baca ini, hehehe…).

Mbah mulai pedekate sama gua. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan standar seperti sekolah dimana, kelas berapa, cita-cita mau jadi apa, mau nikah umur berapa, udah ada calonnya atau belum. Pertanyaan simpel tapi bisa jadi senjata makan tuan. Jikalau gua sudah merasa akrab maka akan terjadi counter attack dimana gua akan berbalik menyerangnya bertubi-tubi dengan pertanyaan.

Ternyata hal tersebut tidak menakutkannya. Mbah ternyata orangnya senang bercerita. Ia adalah seorang pelaut. Pengalamannya banyak, jadi banyak yang bisa diceritakannya. Ia pernah mengelilingi dunia dengan kapal laut. Yang gua ingat dia semangat sekali jika bercerita tentang Hawaii.

Cerita-cerita Mbah memaksa otak gua untuk bekerja keras. Dari situ pertanyaan-pertanyaan timbul dengan sendirinya… Bagaimana ikan teri yang kecil dapat membalikkan kapal? Apa saja isi Palung Mariana yang berkedalaman 10.000 meter? Dimana letak Atlantis, pulau yang hilang? Mengapa Mbah senang ke Hawaii?... dan Kapan ya gua bisa menjawab semua ini???

Pertanyaan terakhir adalah pertanyaan terpenting dan menjadi alasan mengapa gua suka bepergian kesana kemari, berpetualang menjelajahi daratan dan lautan. Karena bagi gua, dunia adalah pertanyaan yang harus gua jawab.

Untuk Mbah dimanapun engkau berada, apakah masih hidup di Indonesia? Ataukah di Hawaii? Atau apakah Engkau sudah meninggal? Meninggal secara wajar? Ataukah dicabik-cabik hiu? Gua ingin mengucapkan terima kasih. Ternyata perjumpaan kita yang sebentar, berpengaruh besar bagi diri gua. You’re one of my inspirations. Jikalau suatu saat nanti gua sampai ke Hawaii, gua akan menuliskan namamu dengan ukuran font yang besar diatas pasir. Hmmm…. By the way, jenengmu sopo tho mbah???

Bicara soal nama, mungkin ada benarnya statement nama itu adalah doa orangtua. Orangtua gua memberi nama “Aditya” yang berarti “Matahari” dalam bahasa Jawa Kuno. Matahari bersinar dan memberi penghidupan bagi seluruh makhluk di bumi. Mungkin itu juga harapan orangtua gua, agar gua paling tidak dapat bersinar untuk keluarga dan orang-orang di sekitar gua. Bener tho Pak, Bu… Kalo itu adalah harapan kalian? Hiks… Hiks… Terharu gua…. Mmmm… Atauuuu… Jangan-jangan nama gua didapet gak sengaja lagi? Abis baca-baca koran? Awas aja kalo ampe ketauan gitu. Rrrrr… Hahahahaha… Apapun itu, bagi gua gak ada permukaan bumi yang gak pernah tersentuh matahari. Begitupula gua akan mencoba seperti matahari menginjakkan kaki gua di seluruh permukaan bumi*.

*berlebihan mode: ON


0 komentar: